Selasa, 11 Mei 2010

BAB II. STERNAU DI RUMAH « Chun Tsu

class='snap_preview'>

Bila di atas peta ditarik garis lurus dari kota Mainz ke Kreusnach, maka kita akan menjumpai nama Rheinswalden. Di desa itu terdapat rumah seorang tuan tanah. Rumah yang besar sekali serta menyerupai sebuah puri itu sebenarnya dibangun untuk dihuni oleh lebih banyak orang daripada yang menghuninya pada tahun 1848 itu. Selama beberapa bulan rumah itu dimiliki oleh keluarga Adlerhorst di Darmstadt. Tetapi sehubungan dengan perkembangan politik pemilik itu telah menjualnya kepada pemerintah dan mereka pindah ke luar negeri.

Puri yang suram itu bagi penghuninya yang baru, bernama Rodenstein, makin lama makin terasa sepi, sehingga ia meminta seorang keluarga jauh beserta putrinya tinggal bersamanya dalam puri. Keluarga tersebut yang bernama nyonya Sternau ialah ibunda Dokter Karl Sternau. Sudah bertahun-tahun wanita itu hidup menjanda, maka dengan senang hati ia menerima tawaran tuan tanah. Tuan tanah itu dijuluki “kapten”, berkat pangkatnya yang telah diperolehnya dalam tentara.

Dalam sebuah rumah kecil yang dapat disamakan dengan rumah penjaga pintu gerbang, tinggallah seorang mualim kapal bernama Unger dengan keluarganya. Ayah dalam keluarga itu jarang ada di rumah. Selain ayah, keluarga itu terdiri dari dua orang lagi, nyonya Unger dan putranya yang baru berusia delapan tahun, bernama Kurt. Putra itu meskipun sangat nakal, namun disukai oleh semua penghuni puri.

Pada suatu hari pagi-pagi sekali kapten berada di kamar kerjanya menghadapi setumpuk daftar yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan demikian sangat dibencinya. Maka wajahnya suram muram dan matanya layak memancarkan api, bila ada orang di dekatnya yang patut menjadi sasarannya.

Pintu diketuk orang.

“Masuk!” teriak Rodenstein.

Pintu dibuka lalu penjaga hutan masuk. Ia adalah tangan kanan tuan tanah, orang kepercayaannya dan orang inilah yang akan menjadi sasaran pertama dari amukan badai, disebabkan oleh kemurungan hati majikan itu. Ia dalam dinas ketentaraan pernah menjadi anak buah kapten, sehingga terbiasa dengan disiplin militer. Maka tanpa memberi salam ia berdiri di muka pintu dengan memberi hormat secara militer.

“Apa khabar?” geram kapten.

“Selamat pagi, kapten.”

“Hm… Selamat pagi! Menyusahkan benar!”

“Apa yang menyusahkan? Pencuri kayu itu?”

“Pencuri kayu? Bukan! Maksudku daftar-daftar itu.”

“Memang, daftar-daftar demikian memusingkan kepala.

Alangkah baiknya saya ini bukan tuan tanah, sehingga tidak dipusingkan olehnya.”

“Apa? Kau menjadi tuan tanah?” geram Rodenstein menakutkan. “Bukan hanya daftar-daftar saja yang akan memusingkan. Pekerjaan lain tak ada satu pun yang dapat kaukerjakan dengan baik berkat kedunguanmu. Sebenarnya Carl Winter lebih berbakat untuk menjadi penerus pekerjaan saya. Sayang bahwa perkembangan politik menyebabkan ia pindah ke Amerika. Apa maksudmu datang ke mari?”

“Di bawah ada seorang pria minta bicara dengan Anda. Ia hanya mau menyebut namanya kepada Anda.”

“Ada-ada saja. Tetapi biarlah, suruh masuk saja!”

“Perintah akan dilaksanakan.”

Ludwig pergi, kemudian masuk seorang pria tinggi kurus berhidung bengkok dan berkacamata. Ia masuk seenaknya saja lalu bertanya tanpa menunjukkan hormat,

“Andakah tuan tanah bernama Rodenstein?”

Akhirnya Rodenstein mempunyai alasan kuat untuk mencurahkan pandangannya yang berapi-api kepada mangsanya. Ia bangkit berdiri, membuka pintu dengan mengempaskan lalu berkata, “Sebaiknya Anda keluar lagi dahulu!”

“Mengapa?”

“Mengapa? Bukankah sudah jelas: karena saya perintahkan!”

“Namun saya kurang mengerti mengapa…”

“Keluar!” deru kapten dengan gegap gempita.

“Baik, bila Anda menghendaki demikian. Saya pergi.” Setelah berkata demikian ia keluar melalui pintu.

“Bagus,” kata tuan tanah. “Sekarang Anda boleh masuk lagi dan memberi salam secara sopan menurut tata kesopanan yang umum.”

Ia mendorong orang itu lebih jauh lagi ke dalam lorong dan menutup pintu.

Semenit kemudian pintu diketuk.

“Masuk,” seru Rodenstein.

Orang itu membuka pintu lalu masuk. Senyum mengejek yang tampak pada bibirnya menandakan bahwa perlakuan terhadap dirinya yang memalukan itu hanyalah akan diterimanya sementara saja.

“Tuan Rodenstein yang terhormat,” katanya. “Saya menyatakan tunduk kepada Tuan. Bolehkah saya sekarang mengucapkan selamat pagi?”

“Selamat pagi! Lalu, ada keperluan apa?”

“Saya ingin bicara secara resmi dengan Anda. Saya ini komisaris polisi dari kerajaan Hessen.” “Saya tidak ada banyak waktu, maka berbicaralah singkat saja. Silakan duduk! Apa keperluan Anda?” “Bukankah di sini tinggal seorang wanita bernama nyonya Sternau?” “Benar.” “Bersama putrinya?” “Benar juga.”

“Kedudukannya sebagai apa?” “Masya Allah.

Kedudukannya sebagai manusia biasa, tinggal di rumah saya. Habis perkara!” “Bolehkah saya memperingatkan Anda bahwa saya berhak mendapat jawaban-jawaban yang sopan?” “Dapat Anda peroleh, Tuan komisaris dari kerajaan Hessen.” “Selain putri itu, masih adakah anak-anak yang lainnya?” “Tidak ada anak lagi, melainkan hanya seorang putra yang sudah menjadi dokter.” “Di mana?” “Ketahuilah bahwa saya tidak ada waktu atau minat sedikit pun untuk menjawab segala pertanyaan Anda yang entah apa makna atau pun maksudnya. Ada apa sebenarnya dengan dokter Sternau itu?”

“Saya membawa perintah untuk menahannya.”

“Me…na…han?” teriak kapten. “Anda sungguh keterlaluan.” “Itu kenyataannya. Ia sedang dicari polisi Spanyol karena
pembunuhan, pencurian, serta penculikan.” Rodenstein melempar pandangan yang ganjil kepada komisaris lalu berseru, “Itu saja? Baru sedikit. Teruskan, apa lagi?” “Baru sedikit, Tuan Rodenstein?”

“Anda rupanya masih belum maklum akan maksud saya. Inilah pendapat saya: dokter Sternau itu orang baikbaik; tidak ada orang lebih baik daripadanya. Maka lebih mudah bagiku percaya bahwa Anda sendirilah seorang pembunuh, pencuri, dan penculik daripada dia. Sangkaan Anda itu tidak masuk di akal sama sekali. Dan saya tidak mau melayani urusan yang hampa demikian. Betulkah Anda itu komisaris polisi dari kerajaan Hessen? Dapatkah Anda memperlihatkan tanda-tanda bukti? Saya tak kenal Anda.”

“Berani Anda meminta tanda-tanda bukti dari saya,” kata polisi itu dengan marahnya.

“Karena setiap penipu dapat juga menyamar sebagai seorang komisaris polisi. Maka enyahlah dari sini. Dan janganlah kembali lagi sebelum dapat menunjukkan surat-surat resmi.”

“Anda menyadari apa yang Anda perbuat.”

“Pasti saya sadari. Dan bila Anda tidak mau pergi dengan sendirinya, saya sanggup membantu Anda dengan melemparkan Anda keluar.”

“Saya akan kembali lagi, membawa bala bantuan. Akan saya adukan Anda karena berani menentang utusan dari pemerintah.”

Rodenstein membunyikan lonceng dan Ludwig masuk.

“Ludwig!”

“Ya, kapten!”

“Orang ini harus ke luar dan bila kurang cepat keluarnya, ia harus dilemparkan ke luar.”

“Perintah akan dilaksanakan, kapten!” kata penjaga hutan sambil menahan tertawanya. Perintah demikian memang disukainya. Ia memegang bahu orang itu mendorongnya masuk ke lorong dan menuruni tangga. Di taman sedang berkeliaran beberapa orang calon pemburu. Demi dilihat mereka, ada perkara yang membutuhkan tenaga mereka, dengan penuh semangat mereka memberikan bantuannya, sehingga dalam waktu singkat polisi itu diterbangkan ke luar daerah puri. Setelah terlepas polisi itu dari tangan mereka, ia mengepalkan tinju serta mengancam akan mengadakan pembalasan kelak kepada tuan tanah.

Di taman puri berdiri seorang anak laki-laki berpakaian seperti seorang pemburu. Ialah Kurt Unger, putra mualim Unger, berusia delapan tahun.

“Ludwig,” katanya, “mengapa orang itu dikeluarkan dari puri? Apa salahnya?”

“Ia telah menghina Tuan kapten.”

Anak kecil itu menjadi marah dan berseru, “Orang itu akan menyesali perbuatannya. Akan kuambil senapanku dan akan kutembak penjahat itu. Kurang ajar benar. Siapa yang menghina kapten akan kutembak mati!”

Penjaga hutan tertawa puas, senang hatinya melihat kesayangannya menunjukkan keberaniannya.

Sungguhpun demikian ia berkata, “Jangan!”, ketika dilihatnya Kurt benar-benar hendak mengambil senapannya. “Kau tidak boleh menembak manusia begitu saja. Bila ingin sekali menembak ada seekor binatang yang boleh menjadi sasaranmu.”

“Binatang apa?”

“Rubah!”

“Rubah!” seru anak itu dengan mata bersinar-sinar.

“Ada di mana binatang itu?”

“Di balik hutan pohon eik. Kemarin aku menemukannya. Nanti aku akan membawa anjing memburunya.”

“Boleh aku ikut?”

“Boleh, bila disetujui ibumu.”

“Aku minta izin sekarang juga.”

Anak itu lari ke rumahnya. Ibunya sedang memberi makan ayamnya. Ia melompat ke tengah-tengah kelompok ayam yang beterbangan kian kemari sambil berkokok-kokok. Kata anak itu terengah-engah, “Mama, mama, boleh aku menembak mati?”

“Siapa yang hendak kautembak mati, anak nakal?”

“Rubah yang suka memakani ayam kita.”

“Ada di mana binatang itu?”

“Dia balik hutan pohon eik. Ludwig telah menemukannya. Nanti ia akan memburunya. Boleh saya ikut?”

“Boleh, karena Ludwig ikut juga.”

Kurt kurang senang mendengar perkataan itu lalu berkata dengan penuh harga diri,

“Sebenarnya Ludwig tak perlu ikut. Aku dapat menanganinya sendiri.”

Ia masuk ke dalam rumah dan keluar lagi menyandang senapan. Senapan itu berlaras dua, pemberian tuan rumah kepadanya sebagai hadiah ulang tahun. Mengingat usianya yang baru delapan tahun, anak itu telah mengalami perkembangan jiwa maupun badan secara sempurna. Kapten merasa bangga, anak itu menghargai hadiah ulang tahunnya itu dan dapat menggunakannya dengan baik sekali. Anak itu sudah dapat dinamakan seorang penembak tepat. Kepandaiannya itu didapatnya dari penjaga hutan yang lama bernama Winter, seorang ahli tembak yang termasyhur.

“Hari ini aku pergi berburu, mama,” katanya.

Wanita itu menciumnya lalu anak itu melangkahkan kakinya dengan gagahnya, seperti seorang raja layaknya, yang sedang berburu burung bangau. Ia datang tepat pada waktunya untuk pergi bersama Ludwig dan beberapa orang pemburu. Mereka membawa beberapa ekor anjing pemburu masing-masing diikat dengan tali yang panjang. Perjalanan mereka melalui hutan lebat. Anak itu bertanya tentang berbagai hal dan orang-orang rajin menjawab segala pertanyaannya.

Pagi itu suatu pagi yang cerah dalam musim dingin. Matahari bersinar. Panas sinarnya itu menyebabkan salju di atas lapangan mencair, namun di dalam hutan yang gelap masih terdapat lapisan salju yang tebal. Kurt harus mempercepat langkahnya, supaya jangan ketinggalan. Akhirnya mereka tiba di dekat hutan pohon eik dan segera menemukan jejak rubah. Rombongan anjing itu mulai menarik-narik pada talinya, tetapi masih harus bersabar dahulu sebelum menemukan sarang rubah dan sebelum dapat dipastikan bahwa rubah itu ada di dalamnya. Nampaknya rubah itu sendiri saja di dalam sarangnya, tanpa kawan-kawan. Semua lorong disumbat ujungnya, hanya lorong jalan keluar yang terbesar dibiarkan terbuka. Kemudian anjing-anjing dilepas. Anjing-anjing itu semuanya masuk ke dalam tanah. Para pemburu bersiapsiap. Kurt mendapat tempat kehormatan disisi lubang jalan keluar yang terbuka itu. Dengan bangga ia
menempatinya.

Ludwig mengingatkan, “Jangan menembak anjingnya! Itu akan merupakan kebodohan di tempat.”

Ludwig mempunyai kebiasaan buruk, selalu mengatakan “di tempat”, meskipun acap kali dengan tidak ada sangkut-pautnya dengan kalimatnya.

Kurt merasa tersinggung lalu menyindir, “Pekerjaan menembak anjing itu biar aku serahkan kepada Anda saja.”

Supaya jangan menjadi lelah ia berbaring di atas tanah, memancangkan sebatang cabang ke dalam tanah dan menyandarkan laras senapannya pada cabang. Tidak lama kemudian terdengarlah dari dalam tanah gonggong anjing terus menerus ke arah yang sama, suatu tanda bahwa anjing-anjing itu menemukan sang rubah. Jerit rubah kemarahan menandakan bahwa ia sedang memberikan perlawanan sengit. Rubah itu galak dan tidak mudah mengalahkannya.

Tiba-tiba terdengarlah dari bawah tanah suara ingar bingar yang memekakkan telinga. Suara itu memenuhi setiap lorong. Anjing-anjing telah memaksa sang rubah meninggalkan sarang.

“Waspadalah Kurt. Ia segera keluar dari lubang ini!” seru Ludwig sambil membidikkan senapannya ke arah lubang.

Kurt masih terbaring di atas tanah. Ia mencurahkan perhatiannya kepada suara gaduh, ke mana arahnya suara itu menuju. Lalu ia mendengar juga raung anjing kesakitan kena gigit. Tiba-tiba terbanglah segumpal benda hitam keluar dari lubang. Ludwig berteriak, “Itu rubahnya!” Serentak dengan teriak itu terdengar tembakannya lalu binatang yang terkena peluru itu jatuh berguling-guling. Pada saat yang sama melompatlah Kurt. Ia membidikkan senapannya ke arah yang lain. Tembakannya meletup bersamaan benar dengan tembakan oleh penjaga hutan, sehingga kedua tembakan itu terdengar seperti satu.

“Aku telah mengenainya di tempat!” seru Ludwig kegirangan, serta langsung lari ke arah binatang yang kena tembak itu. Namun bukan main terkejutnya melihat apa yang sesungguhnya telah ditembaknya itu.

“Itu Waldina!” seru salah seorang pemburu.

“Astaga! Aku telah menembak mati Waldina di tempat. Itu sungguh perbuatan dungu di tempat. Mengapa aku sebodoh itu? Namun aneh juga, mengapa anjing itu keluar lebih dahulu daripada rubah?”

“Sebab ia kena gigit oleh rubah,” demikian dijelaskan Kurt.

“Diam, kau masih hijau!” geram orang itu. Sesungguhnya ia marah kepada dirinya sendiri.

“Aku masih hijau?” kata Kurt sambil tertawa. “Kalau begitu, lihatlah di balik pohon eik itu…ada apa?”

Setiap orang memandang ke arah yang ditunjuk.

“Masya Allah. Itu rubahnya!” seru Ludwig.

Benar juga, itulah rubahnya. Ia telah diburu oleh dua anjing lainnya.

“Jadi Anda tetap beranggapan aku ini masih hijau?” tanya anak itu.

“Maksudmu hendak mengatakan bahwa rubah itu kau yang menembaknya? Sangat tidak mungkin. Kurasa Franz ataupun Ignaz yang telah menembaknya di tempat.”

Anak itu merasa tersinggung. Ia mengambil sebuah selongsong peluru dan memasukkannya ke dalam laras senapan.

“Bukan, bukanlah aku,” kata Franz. “Aku tidak menembaknya.”

“Akupun tidak,” kata Ignaz.

“Kalau begitu, benarlah anak itu yang menembaknya, bukan main!” seru Ludwig.

“Tetapi mengapa kamu menembak ke arah lain?”

“Pertama karena aku mendengar di mana rubah itu hendak ke luar dan kedua karena aku telah mengatakan biar pekerjaan menembak anjing itu kuserahkan kepada Anda saja.”

Penjaga hutan merasa sangat malu karena perbuatannya yang luar biasa bodoh itu. Lagi pula ia sangat menyesal karena kehilangan salah seekor anjing pemburu yang disayanginya.

Ia berusaha membela dirinya, “Tetapi aneh juga. Mana mungkin rubah itu keluar dari lubang lain, karena sudah tersumbat semuanya.”

“Sayang penyumbatan itu kurang sempurna,” kata Franz. “Lihat saja, ranting-ranting penyumbat itu tidak cukup. Rubah itu dapat melihat ke luar melalui celahcelahnya.”

“Perkara yang menyusahkan di tempat,” kata Ludwig sambil menggaruk-garuk telinganya. “Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkannya kepada kapten?”

“Ya, carilah alasan yang dapat diterima. Mari, sekarang kita melihat rubah itu dahulu.”

Orang-orang itu pergi melihat binatang perburuannya dan mengusir anjing-anjing dari tempat itu. Rubah itu ternyata sangat cerdik. Mungkin ia sudah pernah dikejar oleh anjing lebih dahulu dan mengalami bahwa lubang yang terbuka itu justru yang mengandung bahaya maut. Maka ia mendorong dengan moncongnya sumbat lubang sampingan dan akhirnya dapat ke luar. Peluru anak itu telah masuk ke dalam kepala rubah, suatu tanda bahwa penembaknya dapat membidik dengan tepat.

“Memang itu pelurumu, nak,” kata Ludwig. “Kau benarbenar hebat! Dapat menembak rubah, sedangkan aku yang lebih tua menembak anjing milik sendiri. Aku patut dipukuli! Kalau perkara yang memalukan ini sampai ke telinga kapten, apa yang akan terjadi? Wallahu’alam! Tapi kau patut mendapat penghargaan, Kurt! Mari, akan kusematkan ranting di topimu.”

Dengan “ranting” itu dimaksudkan dalam bahasa pemburu sebatang ranting berdaun yang disematkan pada topi seorang pemburu, menandakan bahwa ia telah berhasil dalam perburuan. Ludwig memetik sebatang ranting dan bermaksud menyematkannya pada topi Kurt. Tetapi Kurt menolak.

“Aku tidak mau ranting itu,” katanya. “Kata Anda, ranting itu merupakan tanda kehormatan.”

“Tentu dan kamupun patut menerimanya, bukan?”

“Bukankah tanda kehormatan itu hanya sesuai bagi orang yang mempunyai rasa hormat.”

“Masya Allah! Aku tidak mengerti perkataanmu. Kau sudah tentu mempunyai rasa hormat, bukan?”

“Apakah orang mempunyai rasa hormat, kalau ia membiarkan dirinya dihina orang?”

“Wah, jadi kau merasa dirimu dihina orang,” kata Ludwig terheran-heran. “Dan siapakah yang menghinamu di tempat, nak?”

“Anda sendiri. Dan aku tak mau dihina.”

“Wah…aku menjadi bingung…”

“Bukankah Anda menganggap diriku masih hijau?

Siapa yang sebenarnya hijau dalam memburu rubah itu, aku atau Anda?” Pemburu-pemburu lainnya hampir tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan anak kecil yang berontak karena merasa dirinya diremehkan itu, namun mereka menahan diri ketika dilihat mereka, Ludwig diam saja. Bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya tergerak oleh rasa
kasihan terhadap anak kesayangannya. Lalu ia menghampiri anak itu, membuka topinya dan berkata dengan suara terharu, “Sesungguhnya kau ini anak yang hebat, Kurt! Aku harus membuka topiku. Maukah kamu memaafkanku mengenai perkataan “hijau” itu?”

Wajah anak itu berseri-seri. Ia menjabat tangan penjaga hutan lalu berkata, “Baik Ludwig. Mari, aku ingin mencium Anda, sebab aku sayang kepada Anda. Sekarang aku mau menerima ranting untuk disematkan pada topiku.”

Itu dikerjakan dan Kurt mengenakan topinya dengan gerakan laksana seorang raja mengenakan mahkotanya pada suatu upacara kebesaran.

“Masih ada satu permintaan lagi,” katanya. “Rubah itu milikku. Aku sendiri ingin membawanya pulang.”

“Tetapi kau masih terlalu kecil, tidak cukup kuat untuk pekerjaan itu.”

“Aku sanggup. Aku tidak membutuhkan bantuan!”

Untuk membuktikan kesanggupannya, ia mengangkat rubah itu.

“Baik, kau boleh mencobanya,” kata Ludwig mengalah. “Rubah itu jasamu sendiri, tetapi bila ternyata bebanmu
terlalu berat, kami akan siap membantumu.”

“Tak usah,” jawab anak itu. “Aku akan membawanya sendiri pulang.”

“Itu tak mungkin, nak. Jaraknya terlalu jauh, kau tidak akan sampai ke rumah.”

“Aku dapat beristirahat bila perlu.”

“Hmm,” geram Ludwig, yang dapat menimbang rasa pahlawan kecil itu. “Ya, mungkin kau benar juga. Biar kita mencobanya. Aku akan mengikat kaki belakang rubah. Biar kau dapat memanggul binatang itu. Aku sendiri dapat kehormatan untuk… membawa pulang Waldina yang sudah mati itu dan menghadiri penguburannya. Kapten pasti akan mengucapkan pidato pemakaman yang pedas sekali!”

Ia mengikat kaki rubah, kemudian meletakkan rubah di atas bahu anak itu, supaya beban itu tidak terlalu berat baginya lalu katanya, “Lekas-lekaslah pulang nak, dengan membawa nama harum. Inilah rubah pertama yang telah kautembak dan bagiku sendiri berharap, semoga kebodohanku itu adalah yang terakhir kali di tempat.”

Ludwig mengangkat anjing mati itu dan pergi meninggalkan tempat itu bersama pemburu lainnya. Kurt berdiam diri sejenak, kemudian ia memutar tubuhnya lalu pergi ke arah rumahnya. Ia mengenali setiap batang pohon dan tidak akan tersesat. Hatinya gembira, sehingga tidak terasakan olehnya beban di atas pundaknya. Sungguhpun demikian tidak lama kemudian bercucuranlah peluh dari dahinya. Majunya perlahan sekali. Di pertengahan jalan ia harus beristirahat.

Kurt kini sudah dekat rumah. Ia keluar dari hutan hendak melangkahkan kakinya ke atas jalan raya. Ia mendengar bunyi langkah kaki orang. Ia menjumpai seorang pria yang sedang sibuk memikirkan sesuatu. Orang yang tidak dikenal itu bertubuh tinggi besar dan memakai baju panjang. Kurt mengamati orang itu sejenak, kemudian berkata dengan garangnya, “Diam di tempat! Ada keperluan apa Anda ke mari?”

Ucapan demikian kerap kali didengarnya dari Ludwig, bila menjumpai orang yang tak dikenal atau yang sedang mencari kayu di hutan. Sungguhpun Ludwig tidak hadir di situ, namun orang itu patut ditegur juga. Kurt telah menembak rubah dan hal itu membuatnya merasa dirinya penting, sepenting Ludwig. Orang tidak dikenal itu terheran-heran melihat anak itu. Kemudian ia tertawa ramah dan menjawab, “Alangkah terkejutnya aku! Sungguh kukira, mendengar suara tuan tanah sendiri memerintah.”

Kurt membetulkan letak rubah dan berkata, “Itu sama saja.”

“Apa maksudmu, nak?”

“Tuan tanah yang mengatakan ataupun saya, itu sama pentingnya. Apa keperluan Anda di sini?”

Rasa heran orang tidak dikenal itu berubah menjadi rasa kagum terhadap anak itu. Ia menjawab,

“Saya harus pergi ke Rheinswalden. Masih jauhkah dari sini?”

“Tidak. Di situ letaknya, di balik kelompok pohon eik itu. Boleh saya antarkan Anda ke situ?”

“Boleh. Mari, akan saya bantu membawa rubah itu.”

“Tidak usah. Itu kubawa sendiri,” kata Kurt.

“Bukankah terlalu berat bagimu?”

“Kukira tidak.”

“Kau benar-benar anak yang kuat. Berapa usiamu? Sepuluh tahun?”

“Sepuluh? Salah terka! Delapan tahun!”

“Delapan tahun?” seru orang itu terkejut, sambil mengamati anak itu. “Hampir tidak dapat dipercaya.”

“Anda kira aku berdusta?” tanya anak itu tersinggung.

“Tidak, tetapi kau membawa senapan!”

“Memang,” jawab anak itu bangga. Sambil membungkukkan badan ia menambahkan, “Anda mau melihatnya? Boleh, asal hati-hati, karena senapan itu berisi!”

Orang itu memegang senapan itu lalu berkata terheran-heran, “Masya Allah, senapan benar-benar, dibuat sesuai ukuran tubuhmu sendiri.”

“Tentu saja! Apakah Anda kira senapan mainan anak kecil saja? Dengan senapan mainan, bagaimana dapat aku menembak mati seekor rubah.”

“Maksudmu mengatakan bahwa kau sendiri menembak rubah itu?”

“Memang demikian.”

“Kau…sendiri?!”

“Anda kira, aku mau berlelah-lelah membawa rubah bila bukan aku yang menembaknya?”

“Tapi kalau begitu, kau ini pahlawan sejati!”

Kurt mengangguk ramah kepada orang itu. Pujian itu benar-benar mengena. Sambil tersenyum ramah ia berkata, “Anda masih akan tinggal di Rheinswalden, kukira. Suatu kali Anda boleh ikut aku. Nanti akan kuperlihatkan, bagaimana menembak seekor rubah.”

“Dengan senang hati, kawan kecilku!” jawab orang itu. Kau boleh berceritera tentang rubahmu dan aku akan berceritera tentang bagaimana memburu beruang, singa, banteng, dan gajah.”

“Pernahkah Anda menembak binatang-binatang demikian? Aku pernah mendengar tentang seorang pemburu semacam itu.”

“Siapakah pemburu itu?”

“Dokter Sternau.”

“Kau kenal dokter itu?”

“Aku belum pernah melihatnya, tetapi kulit singa dan beruang yang telah ditembaknya pernah. Kulit-kulit itu disimpan di rumah nyonya Sternau. Nyonya itu ibunya. Saya telah banyak mendengar ceritera tentang perburuannya. Aku ingin juga kelak menjadi pemburu seperti dia.”

“Sungguh kau berkeinginan demikian? Aku kira, kau dapat juga.”

“Aku harus menjadi besar lebih dahulu, sebesar Anda. Kepandaian naik kuda serta menembak sudah kumiliki. Ludwig mengajarku main anggar dan senam. Dalam musim panas akan aku belajar berenang. Bila Anda ingin bicara dengan nyonya Sternau, aku dapat menunjukkan jalan.”

“Di mana rumahnya?” tanya orang itu sambil memutar badannya ke arah yang ditunjuk.

“Di sisi puri sebelah situ Anda dapat melihat kaca-kaca. Itulah taman musim dingin. Dan dua orang wanita sedang berjalan di situ. Itu nyonya Sternau dan nona Helena Sternau. Mereka sedang memetik bunga untuk kapten.”

Ketika melihat kedua orang wanita itu, pada muka orang itu tampak senyum gembira. Ia bertanya, “Aku tidak melihat pintu di pagar itu.”

“Anda sebagai seorang asing harus masuk melalui pintu gerbang di muka.”

“Aku ingin bertemu nyonya Sternau.”

“Anda harus melapor dahulu.”

“Nyonya kenal aku.”

“Baik kalau begitu. Akan kutunjukkan pintu pagar. Semuanya ini karena aku suka kepada Anda.”

“Aku pun suka kepadamu. Siapa namamu?”

“Kurt.”

“Kurt…Ungerkah?”

“Benar. Anda tahu namaku?”

“Memang. Ayahmu seorang mualim kapal, bukan?”

“Benar. Anda tahu juga?”

“Nyonya Sternau pernah menyebut namanya dalam sebuah surat. Tetapi di manakah pintu pagar itu, lekaslah!”

“Di sebelah kanan sini. Sepuluh langkah lagi dari sini.”

Orang itu bergegas ke arah pintu itu, membukanya lalu masuk ke dalam taman. Dengan langkah cepat ia menuju ke bangunan berkaca yang dinamakan taman musim dingin oleh Kurt itu. Pintu bangunan itu tidak terkunci. Orang itu membukanya lalu masuk.

Dekat sekelompok pohon palma dan pohon-pohon yang berdaun hijau sepanjang masa sedang duduk-duduk dua orang wanita. Sekali pandang dapat kita mengenalinya sebagai ibu dan putri. Mereka sedang mengarang bunga. Setelah mereka mendengar pintu dibuka, mereka memandang ke arah itu dan melihat orang yang bertubuh tinggi besar itu. “Siapa yang Anda cari?” tanya nyonya Sternau.

Tetapi orang tak dikenal itu memotong dengan suara yang bersorak, “Ibu!” serta merta ia memeluk dan mencium ibunya. Nyonya itu menjadi pucat karena terkejut dan terharunya. Beberapa saat ia tidak mampu berpikir, membiarkan dirinya dipeluk. Namun kemudian ingatannya pulih kembali dan ia berseru, “Karl! Kamukah ini, putraku? O, betapa gembiranya!” Sambil memegang ibunya ditangan kanannya, orang itu mengulurkan tangan kirinya ke arah saudaranya, memohon, “Helene, adikku, mari!”

“Abangku!” sorak gadis itu dengan mata berseri-seri.

“Kami sedang membicarakanmu. Alangkah gembiranya! Dan kami kira, kau berada jauh dari sini…di Spanyol.”

“Ya, aku sengaja tidak memberitahukan kedatanganku dengan surat, karena aku ingin memberi semacam hadiah kepada kalian, hadiah Natal.”

“Dan kami sangat gembira dengan hadiahmu itu, Nak,” kata ibunya.

Dalam pada itu Kurt melanjutkan perjalanannya. Bersama rubahnya ia masuk ke dalam taman puri. Di situ dijumpainya pekerja yang tugasnya mengurus peternakan puri.

“Nah, akhirnya kalian dapat menembaknya,” kata orang itu ketika melihat rubah itu.

“Bukan kami, aku!” jawab anak itu dengan penuh harga diri.

“Kau? Ya, aku lihat, kau yang membawanya, tetapi siapa yang menembaknya?”

“Seorang pahlawan dapur!” sindir Kurt sambil berjalan terus ke arah puri, gayanya seperti seorang raja kehilangan muka. Ia menaiki tangga dan mengetuk pintu rumah tuan tanah.

“Masuk!” terdengar bunyi suara garang.

Rodenstein masih diliputi oleh kekesalan hati setelah ditinggalkan oleh komisaris polisi dari kerajaan Hassen. Kurt masuk ke dalam kamar, memberi hormat lalu berkata, “Inilah penjahatnya, kapten!”

Wajah tuan tanah dengan serta merta berubah menjadi jernih. Ia langsung bangkit, menghampiri anak itu lalu berkata, “Jadi si tua ini…binatang cerdik kiranya! Tentu bersusah payah menangkapnya, bukan?”

“Memang sangat sulit bagi para pemburu, tetapi bagiku sedikitpun tidak.”

“Apa? Bukankah terlalu berat untuk dibawa!”

“Sebaliknya, kapten! Sangat mudah membawanya maupun menembaknya mati.”

“Jadi kau sendiri yang menyeret binatang itu dari hutan ke mari? Persetan dengan pemalas-pemalas itu! Tega membiarkan seorang anak kecil bersusah payah, sedangkan mereka sendiri seenaknya berjalan di sampingnya!” gelegar Rodenstein. Awas mereka masih harus mengadakan perhitungan denganku!”

Namun Kurt mendekat selangkah dan berkata, “Jangan kapten, Anda tidak boleh menghukum mereka!”

“Tidak boleh? Siapa berani melarangku?”

“Aku.”

“Kau? Apa alasanmu berkata demikian?”

“Aku telah memaksa mereka membiarkan aku membawa rubah itu sendiri.”

“Memaksa? Keterlaluan benar! Masa dapat dipaksa oleh seorang anak kecil!”

“Aku bukan anak kecil lagi! Sampai Ludwig pun mengakui bahwa aku yang berhak membawa pulang rubah itu.”

“Berhak? Hanya si penembaklah yang berhak.”

“Memang akulah yang menembaknya.”

“Kau…?” tanya tuan tanah dengan mata terbelalak keheranan.

“Benar. Tepat mengenai tengah kepalanya.”

“Masya Allah! Bukan main! Namun sebenarnya tidak mengherankan juga, karena kau ini anak yang luar biasa. Coba lihat!”

Ia mengangkat rubah itu untuk memeriksa luka bekas tembakannya.

“Benar juga, kaulah penembaknya!” seru Rodenstein.

“Lubang kecil itu…bekas peluru senapanmu! Tepat di tengah-tengah kepala! Hebat benar! Kemarilah Nak, biar aku memeluk dan menciummu sepuas hati!” Rodenstein memegang kepala anak itu dengan kedua belah tangannya lalu memberi ciuman mesra di kiri kanan. Kurt berlagak seperti orang yang berhak penuh mendapat perlakuan itu dan bertanya, “Bukankah Anda merasa puas denganku, kapten?”

“Memang, bukan buatan puasnya, Nak!”

“Kalau begitu, tentu aku akan mendapat pistol cantik yang pernah Anda janjikan kepadaku, bukan? Dengan senapan aku sudah dapat menembak. Tiba waktunya untuk belajar menembak dengan pistol.”

“Baik, anak nakal, kau akan mendapatkannya…sekarang juga.”

Kapten membuka sebuah laci meja tulisnya lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil.

“Inilah, Nak! Pistol yang baik lagi cantik, bertatahkan perak. Inilah sejumlah pelurunya. Ludwig harus mengajarmu memakainya.”

Kini anak itu membalas tuan tanah dengan memegang kepalanya dan menciumnya berkali-kali. “Inilah pernyataan terima kasihku!”

“Kau ini anak yang tak ada tandingannya,” seru tuan tanah terharu. “Kau kubolehkan mengemukakan satu permintaan lagi! Sebut saja apa yang masih kaukehendaki!”

Kurt tiada berpikir lama-lama. Langsung ia berkata, “Ya, aku masih mempunyai satu permintaan. Tetapi Anda harus berjanji menepatinya.”

“Tentu saja, asal dirimu maupun diri orang lain tidak dirugikan olehnya.”

“Sumpah?”

“Masya Allah! Seram benar kedengarannya. Kau menyudutkan aku. Sungguh bukan sesuatu kejahatankah?”

“Bukan, Anda hanya diminta memaafkan seseorang.”

“Wah, jadi kau ini berusaha melindungi seseorang? Siapakah orang itu?”

“Baru mau kukatakan bila Anda mau bersumpah.”

“Kurt, kau ini licik benar. Apakah ada pihak yang dirugikan, bila aku mau memaafkan?”

“Tidak ada.”

“Baik kalau begitu. Aku bersumpah. Dan sekarang cepat katakan!”

“Jangan memarahi Ludwig karena kebodohannya dalam menembak.”

Tuan tanah mengerutkan keningnya. “Kebodohan dalam menembak? Tak mungkin! Ia seorang ahli menembak.”

“Namun aku benar juga. Ludwig sendiripun harus mengakuinya.”

“Wah! Apa yang ditembaknya?”

“Anjing!”

“Anjing?” seru tuan tanah. “Kau boleh berkelakar, tetapi ini sudah keterlaluan.”

“Benar, anjing,” ulang Kurt. “Waldina.”

“Waldina? Bukan rubah? Benarkah demikian? Kau tidak mempermainkan aku, Nak?”

“Tidak. Aku tidak mempermainkan Anda, Kapten. Jadi Anda sudah berjanji, Anda tidak akan memarahinya.”

Amarah tuan tanah meledak. Ia berjalan hilir mudik dalam kamar, ia mengutuk dan memaki, tapi akhirnya amarahnya pun mereda juga. Ia berkata, “Kau benar-benar licik, tahu-tahu aku masuk ke dalam perangkapmu. Ludwig itu sepantasnya dimaki dan dimarahi tanpa mengenal ampun, namun kau yang menghalanginya. Kini aku terpaksa memegang janji. Baik, aku tidak akan memakinya, tetapi alangkah baiknya, seandainya dialah dahulu yang dipindahkan ke Amerika dan bukannya Carl. Dan kau yang turut bersekutu, kau pun sebaiknya enyah dari sini, lekas! Aku tidak sudi melihat maupun menemanimu lagi. Mengerti!”

Wajahnya tampak murka bukan kepalang, tangannya terentang menunjuk ke arah pintu. Namun Kurt dengan tenang memasukkan pistolnya ke dalam saku, memanggul kembali rubahnya, memegang senapannya lalu berkata sambil menentang tuan tanah dengan matanya yang cerah itu tanpa merasa takut sedikit pun, “Kira Anda, Anda dapat menakut-nakuti aku, Kapten? Namun aku kenal Anda lebih baik.”

“O, begitu! Kau kenal aku lebih baik,” geram Rodenstein. “Kalau begitu, tentu kau tahu juga bahwa mulai sekarang putus hubungan antara kita, putus sama sekali!”

“Kedengarannya menakutkan benar, namun aku tidak peduli, karena aku tahu sesuatu.”

“Tahu apa?”

“Bahwa Anda sebenarnya sayang kepadaku.”

“Apa katamu? Aku sa…, namun benar juga kau, anak nakal! Aku sayang kepadamu. Maka lekas-lekas enyahlah dari sini. Jangan-jangan engkau meminta sesuatu lagi yang tak dapat kupertanggungjawabkan!”

Tuan tanah mendorong anak itu ke luar lalu melihat Helene di lorong. Gadis itu hendak mengetuk pintu. “Nona Helene,” kata tuan tanah. “Silakan masuk! Anda membawa khabar apa?”

“Pertama-tama inilah karangan bunga untuk Anda! Kemudian ingin juga saya menyampaikan kehendak ibunda untuk memperkenalkan abang saya kepada Anda. Tiada berkeberatankah Anda?”

“Abang Anda? Dokter Sternaukah?” tanya Rodenstein agak keheranan. “Bukankah ia ada di Spanyol?”

“Ia baru saja datang.”

“Masya Allah! Jadi benar juga,” katanya perlahan sambil berpikir.

“O, jadi Anda sudah tahu…?” tanya Helene.

“Bukan, bukan, aku tidak tahu apa-apa,” jawab tuan tanah cepat-cepat untuk memperbaiki kekhilafannya. “Suruh dia lekas-lekas ke mari. Aku ingin berkenalan dengannya.”

“Ibu sedang berjalan ke mari. Saya mendahuluinya untuk melapor kepada Anda. Nah, itu mereka sudah mengetuk pintu. Boleh saya membukanya, kapten?”

Helene membuka pintu lalu Sternau dan ibunya masuk ke dalam. Pada wajah tuan tanah tampak rasa heran bercampur kagum, ketika ia melihat orang tak dikenal itu.

“Tuan inikah dokter Sternau, Nyonya? …putra Anda?”

“Tak lain dan tak bukan, Kapten,” jawab Sternau sendiri sebagai ganti ibunya. “Saya telah tiba sepuluh menit yang lalu dan pertama-tama saya hendak menyampaikan rasa terima kasih saya yang sebesar-besarnya atas keluhuran budi Anda mau menerima ibunda beserta adik saya dan atas segala kebaikan hati dan rasa persahabatan yang Anda limpahkan kepada mereka.”

Rodenstein yang masih terpaku memandanginya menangkis, “Ada-ada saja! Semuanya tidak benar yang Anda katakan. Malah sebaliknya akulah yang harus berterima kasih kepada nyonya Sternau. Nyonya tak putus-putusnya berdaya-upaya untuk mengubah seorang pertapa tua seperti aku ini menjadi orang yang dapat diterima dalam masyarakat dan karena itu Anda tidak perlu merasa berhutang budi kepadaku. Lagipula bukankah kita ini sekeluarga, sehingga dengan sendirinya tidak ada lagi persoalan mengenai hutang budi. Silakan duduk dan maafkan aku memandangi Anda begitu lama. Anda sekali-kali tidak sesuai dengan bayanganku semula.”

“Bolehkah saya tahu bagaimana bayangan Anda yang semula itu?” tanya Sternau sambil menempati kursi di antara ibu dan adiknya.

“Bayanganku tentang Anda sebagai seorang yang bertubuh kurus kecil dengan wajah yang halus serta sungguh-sungguh, memakai kacamata kecil, tetapi sekarang…”

Tuan tanah memutuskan lukisannya dengan ragu-ragu. Ia tak tahu apa yang masih dapat ditambahkannya lagi, tetapi Sternau menambahkan sambil tertawa, “…dan kini datanglah seorang Goliath tanpa kacamata dan tanpa muka yang sungguh-sungguh…”

“Bukan, bukan, itu bukan maksudku!” kata Rodenstein menangkis. “Yang mengherankanku ialah tinggi besar tubuh Anda. Aku tidak dapat membayangkan seorang raksasa sebagai putra nyonya Sternau. Tetapi aku gembira juga mengetahui bahwa ada juga seorang raksasa dalam keluarga kita. Anda tidaklah memberi kesan, akan jatuh pingsan oleh soal yang kecil-kecil saja. Maka aku mau berterus terang saja dengan Anda dan mengatakan bahwa Anda sudah dilaporkan kepadaku.”

“Benarkah?”

“Benar, tadi pagi, oleh yang mulia polisi.”

“Polisi?” tanya nyonya ketakutan. “Apa yang mereka kehendaki dari kita.”

“Bahkan yang datang itu komisaris polisi dari kerajaan Hessen untuk menanyakan, apakah ada seorang Dokter Sternau tinggal padaku.”

Sternau mengangguk. “Itu sudah kuduga.”

“Benarkah?” tanya Rodenstein. “Jadi polisi mempunyai alasan untuk menanyakan tentang Anda?”

Dokter tertawa. “Apakah tuan komisaris juga mengemukakan alasannya, kalau saya boleh tanya?”

“Memang, bahkan lebih dari satu. Ia berkata bahwa ia mendapat perintah untuk menahan Anda berdasarkan tuduhan atas usaha pembunuhan, pencurian, dan sebagainya.”

“Astaga!” seru adinda.

“Itu‘kan mustahil!” kata ibunda. “Dapatkah kaujelaskan perkara itu, putraku?”

“Hingga kini saya masih belum berkesempatan untuk berbicara tentang hal itu dengan ibu dan Helene. Lagi pula karena kapten pun harus mendengarnya pula, maka saya telah menunda penjelasan, supaya dapat didengar oleh semuanya. Dapatkah Anda menyisihkan waktu barang seperempat jam, kapten?”

“Sepuluh kali itu pun dapat. Silakan Anda berceritera sepuas hati Anda.”

“Ceritera saya ini mungkin kedengaran seperti khayalan dalam ceritera roman.” Sternau melukiskan panjang lebar tentang pengalamannya, tentang sikapnya menghadapi perkara itu dan tentang keputusan-keputusan perkara yang diambilnya. Ceriteranya begitu memukau, sehingga Kapten pun lupa menggeraminya dengan ledakan istilah-istilah keras di sana sini, seperti biasa dilakukannya dalam keadaan seperti itu. Tetapi akhirnya angkara murka Rodenstein tiadalah tertahan lagi. Ia melompat, berjalan dengan langkah besar-besar dalam kamar lalu berteriak, “Astaga! Komplotan bangsat semuanya ini! Alangkah baiknya seandainya mereka ada di sini! Akan kupenggal kepala mereka atau kucekik leher mereka dan kugantung mereka berderet! Tetapi untung juga Anda masih dapat menyeberangi perbatasan.”

“Ya. Mula-mula saya pergi mengunjungi duta di Paris untuk memberitahu segalanya kepadanya dan untuk meminta bantuan. Duta itu berpanjang lebar dengan nasehatnya: apa yang harus saya lakukan bila melampaui perbatasan, bagaimana caranya membela diri terhadap penyerangan dan bagaimana dapat menyelamatkan harta warisan Tuan Putri.”

“Dan bagaimana keadaan Tuan Putri sekarang? Masih sakitkah? Ceriterakanlah lebih banyak lagi, Dokter!”

“Setelah saya melewati perbatasan Jerman, saya mematuhi segala nasehat duta. Saya membuat laporan tentang kejahatan-kejahatan yang dilakukan dan mengusahakan supaya di Spanyol orang mengetahuinya juga. Kemudian saya pergi bersama kedua orang dengan pengikutnya yang setia itu ke Mainz. Saya suruh mereka bermalam di hotel. Saya sendiri kemudian pergi lagi untuk mengunjungi ibu dan adik saya.”

“Jadi mereka ada di Mainz?” tanya kapten dengan penuh semangat. “Tetapi mengapa harus ditampung di Mainz? Apakah aku ini orang yang tidak mengenal belas kasihan? Orang yang tidak mampu menawarkan pemondokan dan sepotong roti kepada orang yang membutuhkan? Bila anda tidak lekas-lekas pergi ke Mainz untuk mengantarkannya ke Rheimswalden, maka aku sendiri akan pergi untuk membajak putri hartawanmu dan menikah dengannya. Anda ada barang-barang bawaan?”

“Ya.”

“Banyak? Dapatkah dimuatkan dalam sebuah kereta?”

“Saya rasa, dapat.”

Rodenstein membuka jendela dan meneriakkan perintahnya ke bawah ke taman. “Heinrich, siapkan dua buah kereta dan sebuah kereta beban. Seperempat jam lagi kami akan pergi ke Mainz.”

“Tetapi Kapten,” kata Sternau, “apakah itu…”

“Tidak ada tetapi. Aku berkuasa di sini dan harus ditaati. Pendek kata, sudahkah Anda mengambil keputusan, ke mana hendak Anda membawa mereka.”

“Belum.”

“Rumahku itu mungkin di mata Anda masih belum layak?”

“Bukanlah itu yang menjadi persoalannya. Saya rasa, Anda tentu berkeberatan untuk…”

“Jauhkanlah segala keberatan itu. Pendek kata: mereka hari ini juga akan diantarkan ke Rheimswalden, habis perkara! Anda, pangeran, putri dan nyonya…keempatnya muat dalam satu kereta. Aku, nona Sternau, Alimpo dan Elvira, kelompok empat orang lagi…dalam kereta yang kedua. Semua orang akan mendapat tempat, jadi kita akan pergi. Habis perkara!

Kamar-kamar untuk tamu sudah siap. Apa yang masih harus diurus dapat dipikirkan sementara Heinrich menyiapkan kereta. Dan sekarang saya minta nyonya Sternau, supaya menyediakan makanan untuk dokter keponakanku. Aku tidak ada kepentingan lain lagi dengan Anda, maka Anda dipersilakan pergi. Karena pakaianku masih kurang layak, aku harus berganti pakaian dahulu. Anda lihat, keponakanku yang baik, aku beritikad baik, tetapi tidak biasa menyanjung-nyanjung. Kuharap Anda pun akan memperlakukanku demikian demi keselarasan dalam hubungan antar kita.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar